Kamis, 14 Mei 2009
Dibandingkan jaksa dan hakim, posisi polisi terhitung unik sekaligus kontroversial. Kalau jaksa dan hakim, paling banter berhadapan dengan terdakwa, sejumlah saksi, dan pengunjung sidang. Tapi polisi tak hanya menghadapi pesakitan, saksi, dan pengunjung sidang. Setiap saat, mereka berhadapan langsung, bahkan berbenturan dengan masyarakat.
Ini memang karena peran dan fungsi polisi lebih kompleks. Mereka menjadi penegak hukum sekaligus pelayan dan pelindung masyarakat. Posisi ini mengharuskan polisi punya gaya dan motif berbeda. Sebagai penegak hukum, mereka mesti siap berseberangan dengan masyarakat. Namun, sebagai pelayan dan pelindung masyarakat, mereka mesti berada di dekat rakyat.
Tak gampang sesungguhnya menjadi polisi. Ke masyarakat, mereka harus bersikap ramah dan bertindak bijak. Ke penjahat, mereka harus selalu waspada. Tak jarang para reserse polisi bertugas di ambang bahaya. Nyawa atau setidaknya luka di tubuh taruhannya.
Namun, kenyataannya masyarakat menganggap fungsi polisi sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat terkontaminasi dengan kesan polisi yang membiarkan pelaku kejahatan, bahkan menjadi centeng atawa beking. Sudah banyak kasus yang menunjukkan fenomena ini.
Misalnya, kasus penyerangan kantor majalah Tempo oleh segerombolan orang yang mengaku suruhan Tomy Winata. Sudah kejadian ini dibiarkan saja oleh polisi yang ada di tempat kejadian perkara, pelaku kasus itu pun berani sesumbar bahwa polisi sudah �di tangannya� dan sejumlah sarana kepolisian telah dibayarnya.
Berbagai perkara pidana juga acap �diobyekkan�, sehingga kepolisian dicap telah menjadi lembaga keuangan nonbank. Beberapa warga remaja yang tersangkut narkotik, misalnya, acap keluar-masuk sel tahanan polisi, setelah membayar sejumlah uang. Sementara itu maling ayam yang tak punya uang tetap disel, bahkan divonis berat oleh hakim. Tapi, koruptor ataupun penjahat kerah putih, karena mampu membayar, tak sampai ditahan, bahkan kasusnya bisa dimusyawarahkan.
Di jalanan, polisi identik pula dengan istilah �86� alias damai. Para pelanggar aturan lalu lintas bisa tak usah repot-repot ke pengadilan, kalau sudah menyelipkan uang ke polisi.
Bahkan sejumlah mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) beberapa waktu lalu menghasilkan skripsi tentang korupsi di kepolisian. Korupsi disebutkan telah melembaga di segala lini dan tahapan tugas polisi. Di DPR pun dilontarkan adanya permainan uang untuk memuluskan promosi pangkat dan jabatan polisi.
Sayang, skripsi itu baru melingkupi serba-serbi korupsi di jajaran bawah kepolisian. Paling banter kasus itu terjadi di tingkat kantor Kepolisian Sektor atau Kepolisian Resor, yang suka menerima bantuan bahan dan peralatan dari pengusaha tertentu. Korupsi di jajaran atas, yang lebih dahsyat, tak terungkap.
Toh, setiap waktu pula upaya kepolisian untuk mendongkrak citra positif selalu berbalapan dengan cemooh masyarakat. Di Tangerang, pernah seorang sopir truk melempari lembaran rupiah yang telah diludahi dengan dahak ke arah polisi lalu lintas. Di Bandung, pernah pula beberapa orang berdemonstrasi dengan menyelipkan uang kertas ke tangan patung polisi di kantor kepolisian.
Mestinya pelbagai kejadian buruk itu bisa berkurang, apalagi polisi sudah dilepaskan dari TNI. Aneka masalah penting dalam proses korupsi di kepolisian juga berkali-kali dibedah oleh mahasiswa PTIK, yang notabene polisi juga. Di masa transparansi, akuntabilitas, dan transisi demokrasi seperti sekarang ini, jajaran kepolisian yang dipimpin Jenderal Polisi Da’i Bachtiar dituntut untuk bisa membersihkan masalah korupsi tersebut.
Bagaimanapun polisi yang benar-benar sipil dan profesional amat diharapkan. Di banyak film di televisi, entah The Hocker, Grazy Harry Fox, Charlie’s Angels, ataupun Chips, Hunter, dan Hammer, polisi bisa membuktikan kepiawaiannya sekaligus sikap familiernya kepada warga. Bahkan polisi-polisi dalam film itu hanya berpangkat sersan. Lebih lagi keuletan detektif Sherlock Holmes dan Hercule Poirot dalam cerita novel.
Kalau korupsi bisa dikurangi, niscaya sebagian besar polisi bisa menjalankan tugas sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat yang baik. Bukankah dalam penanganan kasus pengeboman di Bali dan Hotel JW Marriott, kepolisian bisa menunjukkan kredit positif? Demikian pula dalam kasus pembobolan Bank BNI.
Label: sCH00L